Rabu, 07 November 2012

TEKHNIK BELAJAR BEHAVIORISTIK

 

 

 

Teori belajar behavioristik


Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat. Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.

Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1991).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
  • Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;
  • Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
  • Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
Kajian Pustaka                                                                                               
1.      Gage, N.L., & Berliner, D. 1979. Educational Psychology. Second Edition, Chicago: Rand Mc. Nally]
2.      Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali
  1. Moll, L. C. (Ed.). 1994. Vygotsky and Education: Instructional Implications and Application of Sociohistorycal Psychology. Cambridge: Univerity Press
  2. Degeng, I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud
  3. Gagne, E.D., (1985). The Cognitive Psychology of School Learning. Boston, Toronto: Little, Brown and Company
  4. Light, G. and Cox, R. 2001. Learning and TeacTeori Belajar Behavioristik
·          Paul Chapman Publising Slavin, R.E. 1991. Educational Psychology. Third Edition. Boston: Allyn and Bacon Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon Slavin, R.E. 1991. Educational Psychology. Third Edition. Boston: Allyn and Bacon
  • Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon



Behaviorisme Teaching Style Dalam Pendidikan
Behaviorisme gaya pengajaran dalampendidikanadalah lebih umum daripada yang kita ingin percaya. Bahkan, digunakan dalam setiap aspek pendidikan. Gaya mengajar ini percaya bahwa informasi yang dilewatkan dari seorang guru kepada siswa yang benar pada dasarnya adalah tanggapan terhadap rangsangan tertentu.

Oleh karena itu, tujuan pendidikan adalah untuk memastikan bahwa mahasiswa telah memiliki koleksi yang sesuai tanggapan terhadap rangsangan tertentu dan tanggapan ini kemudian diperkuat.
Penguatan tanggapan dilakukan melalui pengulangan, memberikan siswa urutan tugas kecil dan terus mengalir memberikan penguatan positif. Hanya kemudian bahwa seorang siswa akan belajar secara efektif. Jika penguatan positif tidak diberikan kepada siswa, tanggapan terpelajar akan hilang secepat muncul.
Perilaku ahli percaya bahwa motivasi adalah bagian penting dari gaya pengajaran behaviorisme dalam pendidikan. Motivasi menginduksi perasaan menyenangkan dan bila mahasiswa mengalami perasaan menyenangkan, ia akan membuat hubungan antara stimulus tertentu dan respons yang sesuai dengan rangsangan. Misalnya, seorang mahasiswa yang dipuji dan mendapat nilai bagus untuk jawaban yang benar adalah lebih mungkin untuk mempelajari jawaban-jawaban dari seorang mahasiswa yang tidak dipuji dan menerima nilai-nilai buruk yang sama jawaban yang benar. Demikian pula, siswa tidak akan belajar jawaban (atau tanggapan) yang mereka persekutukan dengan bala bantuan negatif.
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa pengulangan diperlukan untuk mempelajari tanggapan yang sesuai rangsangan tertentu. Dan itulah sebabnya metode pengajaran behaviorisme menggunakan keterampilan dan latihan latihan untuk memastikan bahwa pengulangan dilakukan. Bentuk lain dari pengulangan adalah pertanyaan dan jawaban menggunakan latihan tapi di sini pertanyaan bisa semakin sulit dan siswa dipandu dengan lembut ke jawaban yang benar. Setelah siswa mempelajari jawaban review biasa dilakukan sehingga mereka tidak melupakan mereka.




Behaviorisme

Disusun oleh: DR. phil. Hana Panggabean
Behaviorisme muncul sebagai kritik lebih lanjut dari strukturalisme Wundt. Meskipun didasari pandangan dan studi ilmiah dari Rusia, aliran ini berkembang di AS, merupakan lanjutan dari fungsionalisme.
Behaviorisme secara keras menolak unsur-unsur kesadaran yang tidak nyata sebagai obyek studi dari psikologi, dan membatasi diri pada studi tentang perilaku yang nyata. Dengan demikian, Behaviorisme tidak setuju dengan penguraian jiwa ke dalam elemen seperti yang dipercayai oleh strukturalism. Berarti juga behaviorisme sudah melangkah lebih jauh dari fungsionalisme yang masih mengakui adanya jiwa dan masih memfokuskan diri pada proses-proses mental.
Meskipun pandangan Behaviorisme sekilas tampak radikal dan mengubah pemahaman tentang psikologi secara drastis, Brennan (1991) memandang munculnya Behaviorisme lebih sebagai perubahan evolusioner daripada revolusioner. Dasar-dasar pemikiran Behaviorisme sudah ditemui berabad-abad sebelumnya.
PEMIKIRAN PENDAHULU
1. Para pemikir bidang filsafat
  • Pemikiran para filsuf masa Yunani kuno kelompok orientasi biologis yang berusaha menjelaskan aktivitas manusia dalam bentuk reaksi mekanistis dari proses-proses biologis, misalnya Hippocrates.
  • pandangan John Locke yang menekankan pada lingkungan sebagai penentu perilaku manusia, jiwa dianggap pasif.
  • pandangan empirisme dan asosiasionisme sangat mewarnai behaviorisme. Adaptasi manusia terhadap lingkungan dilakukan melalui proses belajar yang berusaha dijelaskan secara empirik dan menggunakan proses asosiasi.
2. Bidang reflexologi
  • Riset-riset di bidang reflexologi di Rusia, adalah pengaruh yang relatif dekat pada behaviorisme dibanding pandangan-pandangan di atas. Reflexologi bertujuan menggali dasar fisiologis dari proses-proses behavioral. Mereka melakukan ini bukan dlm konteks pengembangan ilmu psikologi, karena para ahli ini sebenarnya adalah ahli fisiologis. Jadi aspek psikologis sudah dengan sendirinya tercakup dalam riset fisiologis mereka.
  • Tokoh penting reflexologi Rusia : Ivan Petrovich Pavlov. Seorang yang berlatar pendidikan fisiologi hewan dari Universitas St. Petersburg (lulus 1875), juga memiliki latar belakang kedokteran. Pernah menempuh pendidikan di Jerman dan memperoleh gelar profesor di bidang farmakologi dan fisiologis. Riset-risetnya tentang proses fisiologis dalam sistem pencernaan mengantarkannya memperoleh Hadiah Nobel pada tahun 1904. Pavlov sendiri selalu menolak disebut sbg. psikolog dan lebih suka dikenal sebagai seorang ahli fisiologis karena menurutnya bidang psikologi adalah bidang yang terlalu abstrak dan spekulatif dibandingkan dengan fisiologis yang lebih empirik. Ia bahkan selalu merasa skeptik dgn psikologi
  • Dalam bidang psikologi, Pavlov dikenal karena penemuannya dalam proses kondisioning. Penemuan ini diperoleh melalui riset dengan anjingnya, secara tidak direncanakan. Bahkan di awalnya Pavlov agak ragu untuk meneruskannya karena arahnya dianggap terlalu ‘psikologis’ dan berarti abstrak. Namun ia memtuskan utk meneruskannya karena karakteristik percobaan ini lebih bersifat fisiologis.
  • Teori utama Pavlov:a. respon-respon yang terjadi dalam proses kondisioning :
tahap 1:
makanan ————————————————
air liur

UCS
UCR (natural)
tahap 2:
pasangkan makanan dengan stimulus lain (bel, piring)

tahap 3:
bel ———————————————————
air liur

CS
CR (learned)
·         b. perluasan dari respon-respon kondisioning yang dasar
    • Delayed CR
    • Extinguished/extinction and spontaneous recovery
    • Generalization/irradation-discrimination
    • Experimental neurosis
c. memperkenalkan konsep reinforcement.
3. Teori assosiasionisme modern
  • Tokoh utama : Edward Lee Thorndike (1874-1949).
  • Ia membaca buku James (Principles of Psychology) sebagai mahasiswa psikologi tahun pertama di Wesleylan University dan belajar pada James sendiri di Harvard dalam bidang animal learning. Eksperimen-eksperimen Thorndike dengan binatang sangat didukung James selama ia di Harvard. Kemudian ia datang ke Columbia atas undangan James Mc. Keen Cattell dan melanjutkan eksperimennya. Setelah meraih gelar Ph.D, ia tertarik di bidang sosial dan pendidikan, lalu mengajar di Teachers’ College, Columbia University, hingga masa pensiunnya di 1949.
  • Thorndike mengembangkan teori asosiasionisme yang sangat sistematis, dan salah satu teori belajar yang paling sistematis. Ia membawa ide-ide asosiasi para filsuf ke dalam level yang empiris dengan melakukn eksperimen terhadap ide-ide filosofis tersebut. Thorndike juga mengakui pentingnya konsep reinforcement dan reward serta menuliskan teorinya tentang ini dalam ‘law of effect’ tahun 1898 (bandingkan dengan Pavlov yang baru menuliskan idenya tentang reinforcement pada 1902).
Pandangan Thorndike:
  • Definisi Psikologi :…the study of stimulus-response connections or bonds… Thorndike sangat mementingkan connections. Connections dapat terbentuk secara sambung menyambung dalam urutan yang panjang. Sebuah connections yang tadinya response bisa menjadi stimulus. Di sinilah tampak peran asosiasi yang membentuk connections.
  • Teori utama Thorndike :
a. Fenomena belajar :
·          
    • Trial and error learning
    • Transfer of learning
b. Hukum-hukum belajar :
  • Law of Readiness : adanya kematangan fisiologis untuk proses belajar tertentu, misalnya kesiapan belajar membaca. Isi teori ini sangat berorientasi pada fisiologis
  • Law of Exercise : jumlah exercise (yang dapat berupa penggunaan atau praktek) dapat memperkuat ikatan S-R. Contoh : mengulang, menghafal, dan lain sebagainya. Belakangan teori ini dilengkapi dengan adanya unsur effect belajar sehingga hanya pengulangan semata tidak lagi berpengaruh.
  • Law of Effect : menguat atau melemahnya sebuah connection dapat dipengaruhi oleh konsekuensi dari connection tersebut. Konsekuensi positif akan menguatkan connection, sementara konsekuensi negatif akan melemahkannya. Belakangan teori ini disempurnakan dengan menambahkan bahwa konsekuensi negatif tidak selalu melemahkan connections. Pemikiran Thorndike tentang. Konsekuensi ini menjadi sumbangan penting bagi aliran behaviorisme karena ia memperkenalkan konsep reinforcement. Kelak konsep ini menjadi dasar teori para tokoh behaviorisme seperti Watson, Skinner, dan lain-lain.
4. Fungsionalisme
Menjadi dasar bagi behaviorisme melalui pengaruhnya pada tokoh utama behaviorisme, yaitu Watson. Watson adalah murid dari Angell dan menulis disertasinya di University of Chicago. Dasar pemikiran Watson yang memfokuskan diri lebih proses mental daripada elemen kesadaran, fokusnya perilaku nyata dan pengembangan bidang psikologi pada animal psychology dan child psychology adalah pengaruh dari fungsionalisme. Meskipun demikian, Watson menunjukkan kritik tajam pada fungsionalisme.
PRINSIP DASAR BEHAVIORISME
  • Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai perwujudan dari jiwa atau mental yang abstrak
  • Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah pseudo problem untuk sciene, harus dihindari.
  • Penganjur utama adalah Watson : overt, observable behavior, adalah satu-satunya subyek yang sah dari ilmu psikologi yang benar.
  • Dalam perkembangannya, pandangan Watson yang ekstrem ini dikembangkan lagi oleh para behaviorist dengan memperluas ruang lingkup studi behaviorisme dan akhirnya pandangan behaviorisme juga menjadi tidak seekstrem Watson, dengan mengikutsertakan faktor-faktor internal juga, meskipun fokus pada overt behavior tetap terjadi.
  • Aliran behaviorisme juga menyumbangkan metodenya yang terkontrol dan bersifat positivistik dalam perkembangan ilmu psikologi.
  • Banyak ahli (a.l. Lundin, 1991 dan Leahey, 1991) membagi behaviorisme ke dalam dua periode, yaitu behaviorisme awal dan yang lebih belakangan.
TOKOH-TOKOH

Watson

1. John Watson (1878-195 Description: 8)
  • Setelah memperoleh gelar master dalam bidang bahasa (Latin dan Yunani), matematika, dan filsafat di tahun 1900, ia menempuh pendidikan di University of Chicago. Minat awalnya adalah pada filsafat, sebelum beralih ke psikologi karena pengaruh Angell. Akhirnya ia memutuskan menulis disertasi dalam bidang psikologi eksperimen dan melakukan studi-studi dengan tikus percobaan. Tahun 1903 ia menyelesaikan disertasinya. Tahun 1908 ia pindah ke John Hopkins University dan menjadi direktur lab psi di sana. Pada tahun 1912 ia menulis karya utamanya yang dikenal sebagai ‘behaviorist’s manifesto’, yaitu “Psychology as the Behaviorists Views it”.
  • Dalam karyanya ini Watson menetapkan dasar konsep utama dari aliran behaviorisme:
·          
    • Psikologi adalah cabang eksperimental dari natural science. Posisinya setara dengan ilmu kimia dan fisika sehingga introspeksi tidak punya tempat di dalamnya
    • Sejauh ini psikologi gagal dalam usahanya membuktikan jati diri sebagai natural science. Salah satu halangannya adalah keputusan untuk menjadikan bidang kesadaran sebagai obyek psikologi. Oleh karenanya kesadaran/mind harus dihapus dari ruang lingkup psi.
    • Obyek studi psikologi yang sebenarnya adalah perilaku nyata.
  • Pandangan utama Watson:
1.      Psikologi mempelajari stimulus dan respons (S-R Psychology). Yang dimaksud dgn stimulus adalah semua obyek di lingkungan, termasuk juga perubahan jaringan dalam tubuh. Respon adalah apapun yang dilakukan sebagai jawaban terhadap stimulus, mulai dari tingkat sederhana hingga tingkat tinggi, juga termasuk pengeluaran kelenjar. Respon ada yang overt dan covert, learned dan unlearned
2.      Tidak mempercayai unsur herediter (keturunan) sebagai penentu perilaku. Perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat penting (lihat pandangannya yang sangat ekstrim menggambarkan hal ini pada Lundin, 1991 p. 173). Dengan demikian pandangan Watson bersifat deterministik, perilaku manusia ditentukan oleh faktor eksternal, bukan berdasarkan free will.
3.      Dalam kerangka mind-body, pandangan Watson sederhana saja. Baginya, mind mungkin saja ada, tetapi bukan sesuatu yang dipelajari ataupun akan dijelaskan melalui pendekatan ilmiah. Jadi bukan berarti bahwa Watson menolak mind secara total. Ia hanya mengakui body sebagai obyek studi ilmiah. Penolakan dari consciousness, soul atau mind ini adalah ciri utama behaviorisme dan kelak dipegang kuat oleh para tokoh aliran ini, meskipun dalam derajat yang berbeda-beda. [Pada titik ini sejarah psikologi mencatat pertama kalinya sejak jaman filsafat Yunani terjadi penolakan total terhadap konsep soul dan mind. Tidak heran bila pandangan ini di awal mendapat banyak reaksi keras, namun dengan berjalannya waktu behaviorisme justru menjadi populer.]
4.      Sejalan dengan fokusnya terhadap ilmu yang obyektif, maka psikologi harus menggunakan metode empiris. Dalam hal ini metode psikologi adalah observation, conditioning, testing, dan verbal reports.
5.      Secara bertahap Watson menolak konsep insting, mulai dari karakteristiknya sebagai refleks yang unlearned, hanya milik anak-anak yang tergantikan oleh habits, dan akhirnya ditolak sama sekali kecuali simple reflex seperti bersin, merangkak, dan lain-lain.
6.      Sebaliknya, konsep learning adalah sesuatu yang vital dalam pandangan Watson, juga bagi tokoh behaviorisme lainnya. Habits yang merupakan dasar perilaku adalah hasil belajar yang ditentukan oleh dua hukum utama, recency dan frequency. Watson mendukung conditioning respon Pavlov dan menolak law of effect dari Thorndike. Maka habits adalah proses conditioning yang kompleks. Ia menerapkannya pada percobaan phobia (subyek Albert). Kelak terbukti bahwa teori belajar dari Watson punya banyak kekurangan dan pandangannya yang menolak Thorndike salah.
7.      Pandangannya tentang memory membawanya pada pertentangan dengan William James. Menurut Watson apa yang diingat dan dilupakan ditentukan oleh seringnya sesuatu digunakan/dilakukan. Dengan kata lain, sejauhmana sesuatu dijadikan habits. Faktor yang menentukan adalah kebutuhan.
8.      Proses thinking and speech terkait erat. Thinking adalah subvocal talking. Artinya proses berpikir didasarkan pada keterampilan berbicara dan dapat disamakan dengan proses bicara yang ‘tidak terlihat’, masih dapat diidentifikasi melalui gerakan halus seperti gerak bibir atau gesture lainnya.
9.      Sumbangan utama Watson adalah ketegasan pendapatnya bahwa perilaku dapat dikontrol dan ada hukum yang mengaturnya. Jadi psikologi adlaah ilmu yang bertujuan meramalkan perilaku. Pandangan ini dipegang terus oleh banyak ahli dan diterapkan pada situasi praktis. Dengan penolakannya pada mind dan kesadaran, Watson juga membangkitkan kembali semangat obyektivitas dalam psikologi yang membuka jalan bagi riset-riset empiris pada eksperimen terkontrol.

Selasa, 06 November 2012

STRATEGI BELAJAR

 

 

 

Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik, Taktik, dan Model dalam Pembelajaran


Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).
Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnya diturunkan ke dalam strategi pembelajaran. Newman dan Logan (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan empat unsur strategi dari setiap usaha, yaitu :
  1. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put) dan sasaran (target) yang harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat yang memerlukannya.
  2. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang paling efektif untuk mencapai sasaran.
  3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan dtempuh sejak titik awal sampai dengan sasaran.
  4. Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (criteria) dan patokan ukuran (standard) untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha.
Jika kita terapkan dalam konteks pembelajaran, keempat unsur tersebut adalah:
  1. Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan pembelajaran yakni perubahan profil perilaku dan pribadi peserta didik.
  2. Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan pembelajaran yang dipandang paling efektif.
  3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah atau prosedur, metode dan teknik pembelajaran.
  4. Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran keberhasilan atau kriteria dan ukuran baku keberhasilan.
Sementara itu, Kemp (Wina Senjaya, 2008) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran J. R David, Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna perencanaan. Artinya, bahwa strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran. Dilihat dari strateginya, pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian pula, yaitu: (1) exposition-discovery learning dan (2) group-individual learning (Rowntree dalam Wina Senjaya, 2008). Ditinjau dari cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi pembelajaran dapat dibedakan antara strategi pembelajaran induktif dan strategi pembelajaran deduktif.
Strategi pembelajaran sifatnya masih konseptual dan untuk mengimplementasikannya digunakan berbagai metode pembelajaran tertentu. Dengan kata lain, strategi merupakan “a plan of operation achieving something” sedangkan metode adalah “a way in achieving something” (Wina Senjaya (2008). Jadi, metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah; (2) demonstrasi; (3) diskusi; (4) simulasi; (5) laboratorium; (6) pengalaman lapangan; (7) brainstorming; (8) debat, (9) simposium, dan sebagainya.
Selanjutnya metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan gaya pembelajaran. Dengan demikian, teknik pembelajaran dapat diatikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misalkan, penggunaan metode ceramah pada kelas dengan jumlah siswa yang relatif banyak membutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan berbeda dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah siswanya terbatas. Demikian pula, dengan penggunaan metode diskusi, perlu digunakan teknik yang berbeda pada kelas yang siswanya tergolong aktif dengan kelas yang siswanya tergolong pasif. Dalam hal ini, guru pun dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode yang sama.
Sementara taktik pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam melaksanakan metode atau teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual. Misalkan, terdapat dua orang sama-sama menggunakan metode ceramah, tetapi mungkin akan sangat berbeda dalam taktik yang digunakannya. Dalam penyajiannya, yang satu cenderung banyak diselingi dengan humor karena memang dia memiliki sense of humor yang tinggi, sementara yang satunya lagi kurang memiliki sense of humor, tetapi lebih banyak menggunakan alat bantu elektronik karena dia memang sangat menguasai bidang itu. Dalam gaya pembelajaran akan tampak keunikan atau kekhasan dari masing-masing guru, sesuai dengan kemampuan, pengalaman dan tipe kepribadian dari guru yang bersangkutan. Dalam taktik ini, pembelajaran akan menjadi sebuah ilmu sekalkigus juga seni (kiat)
Apabila antara pendekatan, strategi, metode, teknik dan bahkan taktik pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut dengan model pembelajaran. Jadi, model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.
Berkenaan dengan model pembelajaran, Bruce Joyce dan Marsha Weil (Dedi Supriawan dan A. Benyamin Surasega, 1990) mengetengahkan 4 (empat) kelompok model pembelajaran, yaitu: (1) model interaksi sosial; (2) model pengolahan informasi; (3) model personal-humanistik; dan (4) model modifikasi tingkah laku. Kendati demikian, seringkali penggunaan istilah model pembelajaran tersebut diidentikkan dengan strategi pembelajaran.
Untuk lebih jelasnya, posisi hierarkis dari masing-masing istilah tersebut, kiranya dapat divisualisasikan sebagai berikut:


Di luar istilah-istilah tersebut, dalam proses pembelajaran dikenal juga istilah desain pembelajaran. Jika strategi pembelajaran lebih berkenaan dengan pola umum dan prosedur umum aktivitas pembelajaran, sedangkan desain pembelajaran lebih menunjuk kepada cara-cara merencanakan suatu sistem lingkungan belajar tertentu setelah ditetapkan strategi pembelajaran tertentu. Jika dianalogikan dengan pembuatan rumah, strategi membicarakan tentang berbagai kemungkinan tipe atau jenis rumah yang hendak dibangun (rumah joglo, rumah gadang, rumah modern, dan sebagainya), masing-masing akan menampilkan kesan dan pesan yang berbeda dan unik. Sedangkan desain adalah menetapkan cetak biru (blue print) rumah yang akan dibangun beserta bahan-bahan yang diperlukan dan urutan-urutan langkah konstruksinya, maupun kriteria penyelesaiannya, mulai dari tahap awal sampai dengan tahap akhir, setelah ditetapkan tipe rumah yang akan dibangun.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa untuk dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, seorang guru dituntut dapat memahami dan memliki keterampilan yang memadai dalam mengembangkan berbagai model pembelajaran yang efektif, kreatif dan menyenangkan, sebagaimana diisyaratkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Mencermati upaya reformasi pembelajaran yang sedang dikembangkan di Indonesia, para guru atau calon guru saat ini banyak ditawari dengan aneka pilihan model pembelajaran, yang kadang-kadang untuk kepentingan penelitian (penelitian akademik maupun penelitian tindakan) sangat sulit menermukan sumber-sumber literarturnya. Namun, jika para guru (calon guru) telah dapat memahami konsep atau teori dasar pembelajaran yang merujuk pada proses (beserta konsep dan teori) pembelajaran sebagaimana dikemukakan di atas, maka pada dasarnya guru pun dapat secara kreatif mencobakan dan mengembangkan model pembelajaran tersendiri yang khas, sesuai dengan kondisi nyata di tempat kerja masing-masing, sehingga pada gilirannya akan muncul model-model pembelajaran versi guru yang bersangkutan, yang tentunya semakin memperkaya khazanah model pembelajaran yang telah ada.

Kamis, 01 November 2012

trait and factor



 




BAB I
PENDAHULUAN

A.   Rasional
Bimbingan dan konseling merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa depan, dan juga bertujuan untuk membantu siswa mencapai perkembangan secara optimal dengan memakai metode dan teknik tertentu. Sesuai dengan hal tersebut maka bimbingan dan konseling diharapkan dilaksanakan oleh tenaga profesional yaitu konselor sekolah yang mempunyai tugas untuk memberikan pelayanan dan membantu siswa agar dapat mengembangkan potensinya secara utuh. Salah satu cara untuk dapat membantu klien yang mengalami masalah adalah dengan menggunakan studi kasus.
Studi kasus bersifat intensif, integratif, dan komprehensif untuk mendapatkan data secara valit dan relevan. Integratif artinya menggunakan berbagai teknik dan metode pengumpulan data, sedangkan intensif artinya mendalam dan kontinyu, sedangkan komprehensif artinya data yang dikumpulkan mencakup aspek kepribadian.
Pengumpulan data yang valid, relevan dan komprehensif tersebut digunakan untuk menentukan jenis kesulitan yang dialami oleh klien, sumber penyebab masalah dan setelah menentukan jenis layanan atau bantuan yang akan diberikan. Dengan data integratif dan komprehensif dimaksudkan agar bantuan yang diberikan kepada klien tersebut sesuai dengan bantuannya.
Studi kasus merupakan salah satu bentuk kegiatan pendukung dalam bimbingan konseling yang harus dikuasai oleh praktikan untuk menyelesaikan masalah siswa. Tujuan diadakannya studi kasus ini adalah untuk memahami individu yang mempunyai masalah, mengadakan interpretasi dan diagnosa tingkah laku individu sesuai dengan kasusnya serta menentukan jalan keluar bagi masalah yang dihadapi. Dengan sstudi kasus diharapkan praktikan mampu menyelesaikan masalah yang kompleks yang tidak selesai hanya dengan koneling saja.
Pelaksanaan studi kasus dengan mengumpulkan data secara lengkap, bersifat rahasia, dikerjakan secara terus-menerus (intensif), secara ilmiah dan diadakan dengan memperoleh data dari berbagai pihak (Hayinah, 1992:107).
Tujuan dilaksanakannya studi kasus adalah: (1) untuk memahami individu yang dianggap bermasalah, (2) untuk mengadakan interpretasi dan diagnosa tentang tingkah laku individu sesuai dengan kasusnya, dan (3) untuk menentukan dan menetapkan jenis kesulitan dan masalah individu. Dari penentuan dan penetapan jenis masalah tersebut, lebih lanjut akan ditentukan jenis bantuan dan bimbingan yang perlu diberikan (Partoisastro, 1984).
Studi kasus memberikan kesempatan kepada praktikan untuk lebih mengenal keadaan lien secara menyeluruh dengan menggunakan berbagai teknik pengumpulan data. Dari data yang terkumpul dugunakan untuk menentukan jenis kesulitan yang dialami oleh klien dan sumber penyebab masalah, serta menentukan jenis layanan/bantuan yang sesuai dengan masalah klien.
Dalam laporan studi kasus ini, diperoleh pemahaman yang mendalam mengenai diri klien sehingga mempermudah pemecahan masalah klien sebab idalamnya terdapat menglasifikasikan masalah sehingga jelas jenis masalah yang dihadapi klien.

B.   Konfidensialitas
Laporan ini bersifat rahasia, maksudnya penggunaan data untuk kepentingan klien, dan tidak digunakan sembarangan. Jika digunakan untuk kegiatan diskusi untuk menyelesaikan masalah klien atau untuk kepentingan pengembangan akademik Jurusan Bimbingan Konseling dan Psikoligi, maka konselor harus tetap meminta persetujuan terlebih dahulu kepada klien. dengan tujuan agar klien merasa dihargai dan dilindungi secara aman. Kerahasiaan ini juga membawa maksud untuk menumbuhkan rasa percaya diri pada klien dan percaya kepada konselor sehingga tercipta suasana hubungan yang akrab, hangat dan terbuka dengan konselor.
Tanpa bermaksud kasus atau masalah maka dalam penulian laporan studi kasus ini praktikan sengaja menyamarkan atau memfiktifkan identitas klien. Hal ini sesuai dengan kode etik jabatan konselor yang berbunyi:
“Catatan-catatan tentang diri klien yang meliputi data hasil wawancara, testing, surat menyurat, perekam dan data lain, semuanya merupakan informasi yang bersifat rahasia dan hanya boleh digunakan utuk keperluan riset, pendidikan calon konselor asalkan identitas klien dirahasiakan.”

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penyusunan laporan studi kasus ini, identitas klien ditulis secara fiktif demi menjaga kerahasiaan klien.

C.   Identifikasi Kasus
1.        Proses Menemukan Kasus
Pada awalnya klien datang sendiri pada praktikan untuk menceritakan masalah yang sedang klien hadapi, klien meminta bantuan pada praktikan untuk membantu klien dalam memecahkan masalah klien.
Melihat kekomplekan masalah yang dihadapi klien maka praktikan memutuskan untuk mengangkatnya menjadi studi kasus. Praktikan menawarkan bantuan untuk mengatasi masalahnya dan klien bersedia serta percaya sepenuhnya kepada praktikan. Klien adalah salah satu siswa binaan praktikan di kelas.
Penetapan kasus ini berdasarkan hasil observasi, wawancara dengan klien dan analisis berbagai instrumen pengumpul data pendukung yang lain, maka dapat praktikan simpulkan bahwa klien menghadapi masalah yang harus segera diselesaikan. Dari data daftar cek masalah, Sosiometri, Study habbit, dan tes Who am I praktikan menemukan masalah yang dihadapi oleh klien antara lain masalah belajar, keluarga, hubungan dengan lawan jenis dan hubungan sosial
2.        Identitas Kasus
a)       Identitas Klien
Nama                               : Onivia Ludi (Fiktif)
Nama panggilan                : Oni
Jenis kelamin                    : Perempuan
Tempat tanggal lahir          : Malang 23 Mei 1990
Agama                             : Islam
Alamat                             : Jl. Kertanegara 2 Malang
Cita-cita                           : Menjadi orang sukses
Hobi                                 : Jalan-jalan.
b)       Keadaan Jasmani
Tinggi badan                     : 150 cm
Berat badan                      : 46 Kg
Warna kulit                       : Kuning langsat.
Warna rambut                  : Hitam
Bentuk muka                    : Oval
c)       Riwayat Pendidikan
No
Tingkat
Sekolah
Lamanya
1
SD
SD Citra bunda Batu
6 Th
2
SMP
SMPN 1 Batu
3 Th
3
SMA
SMAN 3 Malang
2 Th

d)       Keadaan Kesehatan
Penglihatan                       : Normal/Tidak ada gangguan
Pendengaran                     : Normal/Tidak ada gangguan
Pembicaraan                     : Normal/Tidak ada gangguan
Penyakit yang dialami        : Pusing
e)       Keadaan Keluarga
AYAH
Nama                               : Sulianto (fiktif)
Pekerjaan                         : Wirausaha
Agama                             : Islam
Alamat                             : Punten, Batu.
IBU
Nama\                              : Syakila (fiktif)
Pekerjaan                           : Guru.
Agama                               : Islam
Alamat                               : Jl. Terusan Agus Salim, Batu.
f)        Susunan Keluarga
Jumlah saudara                   : 2 Bersaudara
Anak ke                             : 2 dari 2 bersaudara

3.    Gambaran Keunikan Kasus
a)    Penampilan Fisik
Klien adalah seorang siswi dengan ciri-ciri fisik tubuh agak tinggi dengan warna kuning langsat, bentuk wajah oval. Rambut klien panjang bergelombang dengan warna hitam dan sering terurai.  Dalam berseragam klien selalu memasukkan bajunya dan selalu memakai ikat pinggang selain itu juga klien memakai sepatu hitam polos dengan kaos kaki puyih untuk hari Senin sanpai dengan kamis dan kaos kaki hitam untuk hari Jum’at dan hari Sabtu. Dari cara klien berpakaian dapat dikatakan bahwa klien dalam berpakaian sangat rapi dan sesuai dengan cara berpakaian yang telah ditetapkan oleh sekolah. Klien juga senang sekali memakai asesoris seperti gelang, kalung, serta cincin.
b)    Penampilan Psikis
Pada saat awal praktikan masuk kelas, praktikan melihat klien tergolong anak yang ceria, klien suka sekali tertawa ketika ada hal-hal yang dirasanya lucu. Klien tergolong anak yang gampang bergaul dan sangat terbuka dengan temannya. Dikelas klien juga sangat antusias pada pelajaran, hal ini terbukti saat praktikan masuk kelas klien untuk memberikan materi, klien selalu mengikuti dengan seksama.
Akan tetapi setelah beberapa kali praktikan masuk kelas sikap klien yang ceria berubah menjadi pemurung. Klien sering menaruh kepalanya di meja, selain itu juga klien kurang memperhatikan pelajaran. Klien sering sekali mendesah dan kurang bersemangat untuk mengikuti pelajaran.
 Klien terlihat sangat dekat dengan kedua teman bangkunya hal ini terlihat hampir setiap klien bertemu dengan praktikan selalu bersama kedua teman bangkunya tersebut. Selain itu klien juga termasuk anak yang manja, klien selalu meminta pertolongan pada teman-temannya untuk melakukan sesuatu.





BAB II
GEJALA DAN PEMILIHAN KASUS
A.   Gejala
Gejala merupakan penjelasan tingkah laku yang tampak (overt) dan tidak tampak (Covert) serta keterangan lain yang memperkuat teridentifikasinya kasus. Masalah-masalah tersebut dapat berupa pendapat ahli atau berdasarkan pada munculnya kesenjangan antara tujuan dan kemampuan dari individu. Berdasarkan hasil wawancara, Daftar Cek Masalah (DCM), Study habbit, tes who am I, klien menunjukkan gejala tingkah laku bermasalah, adapun gejala-gejala yang tampak sebagai berikut
1.    Klien sering mengatakan bahwa klien malas untuk berangkat sekolah.
2.    Dan lain sebagainya (silahkan di sesuaikan dengan kondisi klien anda)
B.   Alasan Pemilihan Kasus
(INI HANYA SEKEDAR CONTOH, SILAHKAN ANDA SESUAIKAN DENGAN KONDISI KLIEN ANDA!!!!)
Berdasarkan gejala-gejala awal yang tampak yakni nilai hasil ujian klien yang banyak dibawah standar nilai sekolah sehingga klien banyak mengikuti remidi, klien hanya belajar jika keesokan harinya ada ujian, klien sering tidak dapat berkonsentrasi dalam belajar, klien tidak memiliki waktu belajar yang terjadwal, selain itu klien tidak tinggal bersama orang tuanya dan klien saat inisedang bingung dengan keputussan yang ibu klien tentukan untuk klien. Disamping itu klien akhir-akhir ini merasa tidak nyaman untuk bertemu dengan mantan pacarnya dan teman-temannya sehingga klien malas untuk keluar kelas dan malas untuk masuk sekolah.
Praktikan beranggapan bahwa klien mengalami masalah belajar, keluarga, hubungan dengan lawan jenis dan hubungan sosial dengan keadaan klien yang seperti disebutkan maka sangatlah jelas bahwa klien harus segera dibantu dan diperhatikan lebih khusus, agar klien dapat segera bebas atau terlepas dari masalahnya. Bila klien tidak segera diberian bantuan maka dikuatirkan akan menghambat poses belajarnya sehingga potensi yang dimiliki klien tidak dapat berkembang secara optimal.
C.   Ancanan Studi Kasus
INI BISA ANDA GUNAKAN DALAM ANCANGAN STUDI KASUS ANDA!!!!
Dalam membantu klien dalam memecahkan masalahnya, praktikan Menggunakan ancangan klinis model Trait and Factor.
Ancanagan klinis model Trait and Factor terdiri dari enam tahap yaitu :
1.        Analisis
Analisis merupakan tahap permulaan pengumpulan informasi tentang diri klien serta latar belakangnya. Informasi atau data yang dikumpulkan mencakup segala aspek kepribadian klien sejauh dapat dijangkau, seperti kemampuan, minat, kesahatan dan lain-lain. Tujuan dari tahap analisis adalah untuk memperoleh pemahaman tentang diri klien dalam hubungannya dengan syarat-syarat yang diperlukan memperoleh penyesuaian diri, baik untuk masa sekarang ataupun masa yang akan datang.
2.        Sintesis
Sintesis merupakan usaha untuk menggolongkan dan menghubungkan data yang terkumpul pada tahap analisis, kemudian disusun sehingga merupakan keseluruan gambaran tentang diri klien.
3.        Diagnosis
Diagnosis merupakan suatu tahap yang ditempuh untuk mencari, menemukan masalah dan menentukan faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya masalah.
4.        Prognosis
Prognosis merupakan tahap memprediksikan kemungkinan-kemungkinan apa yang dihadapi klien jika masalahnya tidak terpecahkan.
5.        Treatment
Dalam konseling konselor membantu klien menemukan sumber-sumber pada dirinya sendiri, sumber-sumber lembaga dan masyarakat guna membantu klien mencapai penyesuaian yang optimal.
6.        Evaluasi
Tindak lanjut merupakan suatu tahap untuk mengikuti perkembangan klien setelah mendapatkan bantuan.
















BAB III
PROSEDUR DAN METODE PENYELIDIKAN

Dalam usaha memberi bantuan kepada klien, praktikan harus memperhatikan kebutuhan klien agar bantuan yang diberikan berhasil dengan baik. untuk itu perlu pengumpulan data yang relevan dan komprehesif serta menginterpretasikan data tersebut dengan tepat.
Prosedur dan metode penyelidikan yang digunakan dalam studi kasus ini adalah ancangan klinis molel Trait and factor. Adapun langkah-langkah dalam membantu mengatasi permasalahan klien adalah :
A.   Analisis
Analisis merupakan kegiatan mengumpulkan informasi tentang diri klien beserta latar belakangnya. Informasi atau data yang dikumpulkan mencakup segala aspek kepribadian klien, langkah analisis dilakukan untuk memperoleh pemahaman tentang klien.
Dalam langkah analisis ini praktikan menggunakan teknik non testing. Teknik non testing adalah cara mengumpulakan data dengan alat-alat non testing seperti observasi, wawancara, angket, problem chek list, angket kebiasaan belajar, sosiometri, home visit atau kunjungan rumah (Widada, 1991: 28) dari teknik tersebut diperoleh data tentang diri klien yang meliputi: SESUAIKAN DENGAN APA YANG NDA BENAR2 LANCARKAN/BERIKAN PADA KLIEN ANDA!!!!
1.      Studi Dokumenter.
a.       Hasil laporan hasil belajar siswa ulangan tengah semester gasal tahun pelajaran 2006/2007
Dokumen penting yang diperoleh praktikan adalah hasil laporan hasil belajar siswa ulangan tengah semester gasal tahun pelajaran 2006/2007. praktikan memperoleh hasil laporan hasil belajar klien dari konselor pamong. Adapun hasil laporan belajar siswa ulangan tengah semester gasal tahun 2006/2007 yang diperoleh klien dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut
Tabel 3.1 Hasil laporan belajar klien ulangan tengah semester gasal tahun 2006/2007
No
Pelajaran
Nilai Klien
Rata-Rata kelas
1
Pendidikan Agama
72
81
2
PKn
73
75
3
Bahasa Indonesia
74
75
4
Bahasa Inggris
65
76
5
Matematika
91
79
6
Kesenian
0
69
7
Pendidikan Jasmani
70
72
8
Geografi
84
78
9
Fisika
75
75
10
Kimia
77
87
11
Biologi
65
75
12
Teknologi Informatika & komunikasi
88
86
13
Ketrampilan
78
67

 Dari 13 mata pelajaran yang ditempuh klien dalam ulangan tengah semester, ada 7 (tujuh) mata pelajaran yang memperoleh nilai kurang dari 75 yaitu Agama, PKn, Bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Kesenian, Pendidikan jasmani, dan Biologi.




2.      Teknik Non Testing
Teknik non testing merupakan teknik pengumpulan data yang tidak baku dan hasil rekayasa petugas bimbingan, konselor, sekolah. Adapun kegunaan teknik non testing adalah mengumpulkan data yang tidak dapat dikumpulkan dengan tes (Hidayah, 1998: 2). Adapun teknik nontesting yang digunakan untuk menggal data dari klien antara lain adalah:
a.       Observasi
Observasi atau pengamatan merupakan teknik untuk merekam data atau keterangan atau informasi tentang diri seseorang yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung terhadap kegiatan-kegiatan yang sedang berlangsung, sehingga diperoleh data tingkah laku seseorang yang nampak (behavior observable), apa yang dikatakan dan apa yang diperbuatnya (Hidayah, 1998: 4).Observasi bertujuan untuk mengetahui segala aktifitas klien tanpa sepengetahuan klien. hal ini dilakukan agar tingkah laku klien yang diamati adalah tingkah laku yang sebenarnya dan bukan dibuat-buat.
Dalam hasil observasi yang dilakukan beberapa kali oleh praktikan menunjukkkan bahwa klien dalam ksehariannya selalu masuk sekolah, akan tetapi klien sering datang dengan wajah yang tidak ceria. Di dalam kelas klien lebih banyak mengobrol dengan teman sebangkunya, selain itu klien sering menaruh kepalanya di bangku dan sering mengeluh malas untuk mengikuti pelajaran. Jika jam istirahat klien selalu keluar kelas bersama teman satu bangkunya.
b.      Wawancara.
Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data dengan tanya-jawab secara lisan baik langsung maupun tidak langsung yang terarah pada tujuan tertentu (Hidayah, 1998: 32). Dalam proses wawancara ini praktikan menggunakan wawancara langsung yakni praktikan menggali data langsung dari klien dan wawancara tidak langsung yang mana praktikan menggali data melalui teman klien.
Dalam proses waancara praktikan menciptakan suasana yang membuat klien merasa nyaman untuk menceritakan apa masalah klien. Praktikan membebaskan klien untuk memilih tempat untuk membicarakan permasalahan yang sedang dialaminya. Praktikan melakukan wawancara dengan klien sendiri dan juga dengan teman klien, yang bertujuan untuk memperoleh keterangan atau data mengenai klien sebanyak-banyaknya dan selengkap-lengkapnya.
1)      Wawancara dengan klien.
Dari hasil wawancara dengan klien diperoleh data bahwa klien sedang mengalami masalah dengan pacarnya serta ibunya. Klien ingin mengakhiri hubungannya dengan pacarnya. Klien merasa tidak nyaman untuk menjalankan hubungan dengan pacarnya. Selain itu pula klien merasakan nilai klien selama klien berpacaran turun. Penurunan nilai klien diketahui oleh orang tua klien. Ibu klien beranggapan penurunan nilai klien diakibatkan karena klien tidak dapat berkonsentrasi belajar melainkan konsentrasinya pada hubungannnya dengan pacar klien.
Ketika ibu klien mengatakan kepada klien untuk tidak boleh pacaran klien langsung memutuskan untuk mengakhiri hubungannnya dengan pacarnya, hal ini yang menyebabkan pacar klien sangat kecewa. Tidak hanya pacar klien saja yang kecewa dengan keputusan mendadak yang diambil klien, akan tetapi teman pacar klien pun terheran-heran dengan keputusan klien.
Ketika klien sudah memutuskan untuk tidak pacaran lagi, tiba-tiba saja ibu klien berbicara pada klien bahwa klien diperbolehkan untuk berpacaran asalkan tidak mengganggu belajar klien. klien merasa sangat bingung karena klien sudah terlanjur untuk memutuskan hubungannnya dengan pacaranya.
Sejak klien memutuskan hubungannya dengan pacarnya, sejak itu pula klien merasa tidak nyaman jika bertemu dengan mantan pacar klien ataupun dengan temannya. Klien merasa mereka memungsui klien dan mengucilkan klien. Hal inilah yang menyebabkan klien tidak semangat untuk masuk sekolah.
2)      Wawancara dengan teman klien.
Selain wawancara dengan klien, praktikan juga menggali data klien melalui wawancara dengan teman dekat klien. Teman dekat klien mengetahui masalah yang dihadapi oleh klien. Klien menceritakan semuanya kepada teman klien. dari keterangan yang diperoleh melalui teman klien, klien dapat digolongkan sebagai anak manja, klien juga sering sekali mengalami kebimbangan dalam menentukan pilihan hidupnya. Mengenai hubungan klien dengan mantan pacaranya pada awalnya klien tidak memiliki perasaan yang lebih pada mantannya. Akan tetapi seiring berjalannnya waktu lama kelamaan klien menyukai mantan klien.
Selain itu pula klien juga banyak memiliki teman laki-laki yang sering kali mengajak klien untuk keluar. Klien termasuk anak yang mudah menyesuaikan diri, karena itulah klien memiliki teman banyak baik satu sekolah maupun lain sekolah.
c.       Daftar Cek Masalah
Daftar Cek Masalah adalah sebuah daftar kemungkinan masalah yang di susun untuk mrangsang dan memancing pengutaraan masalah yang ernah atau sedang dialami oleh seseorang, yang menyangkut keadaan pribadi individu, seperti sikap, minat, kondisi jasmaniah, hubungan sosial kejiwaan, kondisi rumah dan keluarga, dan lain-lain (Hidayah, 1998:55). Dari hasil Daftar Cek Masalah yang diisi klien dapat diketahui masalah klien antara lain sebagai berikut :
1)      Masalah Kesehatan
ü    Jantung sering berdebar-debar.
ü    Sering sukar tidur.
ü    Sering merasa lelah dan tak bersemangat.
ü    Kadang-kadang merasa ngantuk.
ü    Makanan sehari-hari terbatas.
2)    Masalah Keadaan hidup (kehidupan).
ü    Uang saku tidak mencukupi.
3)    Masalah rumah dan keluarga.
ü    Klien biasa dimanjakan.
ü    Tidak tinggal bersama orang tua.
ü    Orang tua klien bersikap keras (menekan, tidak memberikan kebebasan) kepada klien.
ü    Orang tua klien tidak mau mengerti terhadap perkembangan jiwa klien.
ü    Ayah dan ibu tidak pernah mengadakan pertemuan keluarga dengan anak-anaknya dalam rangkan memberikan nasehat-nasehat, bimbingan dan pendidikan.
ü    Ayah dan ibu tidak hidup (tinggal) bersama.
ü    Klien tidak puas dengan keadaan klien sekarang.
4)    Masalah Agama dan Moral
ü    Sering berdusta.
ü    Sering berbuat tidak jujur/tidak sportif.
5)    Masalah rekreasi/olah raga/hobby.
ü    Klien lebih suka membaca buku-buku hiburan dari pada buku pengetahuan/pelajaran.
ü    Gemar berkeliling kota dengan berkendaraan pada sore hari.
6)    Masalah masa depan yang berhubungan dengan pendidikan dan jabatan.
ü    Merasa pesimis terhadap masa depan klien (berhubung dengan sulit/besarnya biaya untuk melanjutkan dan sempitnya lapangan pekerjaan).
ü    Khawatir tidak dapat “Berdikari”
ü    Klien ingin mengetahui bakat dan kemampuan klien.

7)    Masalah Penyesuaian kepada Sekolah
ü    Klien sering malas masuk sekolah.
ü    Didalam kelas pikiran klien sering mengembara/melamun/mengantuk  
ü    Sikap/pribadi seorang guru, menyebabkan pelajaranya tidak klien senangi.
ü    Ada beberapa pelajaran yang klien anggap tidak perlu.
8)    Masalah penggunaan waktu.
ü    Klien tidak dapat memanfaatkan waktu terluang.
ü    Klien tidak dapat membagi waktu belajar.
ü    Waktu klien banyak dihabiskan untuk mengobrol.
9)    Masalah kebiasaan belajar.
ü    Klien belajar hanya kalau ada ulangan.
ü    Belajar dengan waktu/cara yang tidak teratur.
ü    PR (pekerjaan rumah) baru klien kerjakan bila waktu untuk menyerahkan sudah dekat (tinggal 1-2 hari).
ü    Sulit untuk memulai belajar.
ü    Sering terganggu oleh teman-teman/saudara.
ü    Belajar dengan cara memberi coretan-coretan.
ü    Belajar dengan sifat hafalan mudah hilang/lupa.
10)  Masalah kebiasaan menghadapi ulangan.
ü    Pada waktu ulangan sering terasa berdebar-debar.
ü    Ditengah-tengah ulangan sering konsentrasi lenyap (tiba-tiba semua yang dipelajari hilang/lupa)
ü    Sering timbul perasaan kurang percaya terhadap hasil pekerjaan sendiri/diri sendiri.
Dari daftar cek masalah yang telah dilancarkan praktikan, diperoleh hasil prosentase perhitungan analisis daftar cek masalah (DCM) untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel 3.2 berikut.
Tabel 3.2 Hasil Analisis Daftar Cek Masalah
No
Aspek Masalah
Prosentase
1
Kesehatan
33,33 %
2
Keadaan hidup
12,5 %
3
Rumah dan keluarga
25,92 %
4
Agama dan moral
12,5 %
5
Rekreasi/olah raga/hobi
13,33 %
6
Masa depan yang berhubungan dengan pendidikan dan jabatan.
33,33%
7
Masalah Penyesuaian kepada Sekolah
40 %
8
Penggunaan waktu
33,33 %
9
Kebiasaan belajar
35%
10
Kebiasaan menghadapi ulangan
42,85 %

Dapat disimpulkan bahwa permasalahan klien yang terbesar adalah masalah kebisaan menghadapi ulangan dengan presentase 42,85 %, masalah penyesuaian kepada sekolah dengan prosentase 40 %, masalah kebiasaan belajar dengan prosentase 35 %.
d.      Checklist kebiasaan Belajar
Data kebiasaan belajar ini diperoleh dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan cara belajar, mengatur waktu, persyaratan belajar dan hal-hal yang berhubungan dengan belajar klien. Dalam check studi habit ada beberapa pernyataan klien sebagai berikut :
1.      Klien belajar kalau ada ulangan saja.
2.      Klien tidak mempunyai daftar waktu untuk belajar di rumah.
3.      Lampu ruang belajar di rumah cukup memenuhi syarat.
4.      Teman-teman klien ering mengganggu klien belajar.
5.      Klien tidak bisa tidur siang.
6.      Klien tidak merencanakan bahan apa yang harus klien pelajari.
7.      Klien sudah merasa cocok terhadap bidang studi/jurusan yang klien      pilih.
8.      Ada beberapa pelajaran yang sulit klien ikuti.
9.      Klien dapat mengikuti sistem pendidikan di sekolah.
10.  Klien belajar karena dorongan dan kebutuhan klien sendiri.
11.  Buku-buku pelajaran klien cukup lengkap.
12.  Catatan klien kurang lengkap.
13.  Klien jarang membaca buku-buku di perpustakaan.
14.  Kadang-kadang klien bertanya pada teman tentang pelajaran.
Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis dengan Tabel 3.3 berikut.
Tabel 3.3 Analisis Checklist kebiasaan Belajar (Studi Habit)
Aspek
Negatif (-)
Positif (+)
Jumlah
Prosentase
Jumlah
Prosentase
8
27,6 %
7
25,9 %

Dapat disimpulkan bahwa klien mempunyai masalah belajar, dimana aspek negatif dalam masalah kebiasaan belajar dengan presentasi 27,6 %

e.       Data Kepribadian
Tes Who Am I adalah suatu alat pengumpul data dalam bimbingan yang dipakai untuk mengetahui penyikapan seseorang terhadap dirinya endiri. Dari hasil tes ini individu dapat dibantu untuk lebih mengenal dirinya sendiri, denga tujuan agar individu mampu menyesuaikan diri disetiap situasi (Hidayah, 1998:45)
Dari tes Who Am I yang telah direncanakan praktikan kepada klien, diperoleh hasil analisis Tes Who Am I, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3.4 di bawah ini :
Pertanyaan
Jawaban
Skor
A
3
1
B
3
1
C
3
3
D
3
3
E
2
2
F
3
1,5
G
3
3
H
3
3
I
1
1
J
3
1,5
K
2
2
L
3
3
M
3
1
N
3
3
O
2
2
Jumlah
32

Berdasarkan jumlah skor yang diperoleh klien yaitu 32 dapat disimpulkan bahwa klien adalah orang yang berkepribadian optimis, menyenangkan dalam bergaul dan percaya pada diri sendiri.
B.   Sintesis
Sintesis bertujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang diri klien, baik kelebihan maupun kelemahannya. Dari tahap ini akan diperoleh secara keseluruan siapa diri klien yang sebenarnya serta gambaran masalah yang dihadapi.
Penyusunan tahap ini, berasal dari data yang sudah dikumpulkan pada tahap analisis. dari tahap analisis tersebut dapat diketahui bahwa klien adalah anak ke 2 dari 2 bersaudara. Ibu klien bekerja sebagai guru sedangkan ayah klien bekerja sebagai wiraswasta. Dari hasil wawancara dengan klien diperoleh keteranan bahwa Ayah dan ibu klien sudah bercerai dan masing-masing sudah memiliki pendamping lagi. klien berasal dari Batu dan tinggal di Malang di kost. Klien sangat dekat dengan ibunya. Sedang dengan ayahnya tidak.
Klien menceritakan kepada praktikan, ibu klien pernah berkata pada klien jika klien bersikap yang mengecewakan orang tua klien maka klien akan di pindah dari kost dan ditempatkan di rumah nenek klien yang ada di Malang. Hal ini sangat membebani klien, klien tidak ingin tinggal dengan neneknya. Maka dari itu klien berusaha untuk selalu menuruti apa yang dikatakan oleh ibunya, termasuk laranan ibu klien untuk berpacaran.
Setelah ibu klien mengetahui bahwa klien punya pacar, ibu klien melarang klien untuk melanjutkan hubungan dengan pacarnya, ibu klien khawatir jika klien pacaran akan mengganggu konsentrasi klien pada pelajaran di sekolah. Ternyata hal yang di takutkan ibu klien terbukti, klien banyak mengikuti remidi karena nilai yang diperoleh klien saat ujian tengah semester banyak yang dibawah 75.
Karena ibu klien melarang klien untuk melanjutkan hubungan dengan pacarnya, maka tidak lama kemudian klien memutuskan hubungan dengan pacarnya. Sangat disesalkan oleh klien ketika klien sudah memutuskan hubungannnya, ibu klien kembali berbicara pada klien bahwa klien diperbolehkan untuk berpacaran asal itu tidak mengganggu pelajaran klien. klien sangat menyesalkan hal ini karena klien sudah terlanjur memutuskan hubungannya.
Semenjak klien memutuskan hubungannya dengan pacarnya, sejak itu pula klien merasa tidak nyaman di sekolah. Klien merasa teman-teman mantan pacarnya memungsui klien. Meski klien tidak satu kelas dengan mantan pacarnya akan tetapi klien merasa terganggu dengan sikap teman-teman mantan pacarnya yang terkesan sinis dengan klien. Hal ini mengakibatkan klien malas untuk masuk sekolah.
Menurut keterangan yang diberikan klien, penurunan prestasi klien sehingga klien banyak mengikuti remidi tidak disebabkan karena klien pacaran, akan tetapi klien memeng belum dapat membagi waktu antara belajar dan bermain. Klien terlalu santai dalam belajar. Selain itu klien tidak memiliki jadwal belajar yang tetap dalam sehari-hari. Klien sering belajar jika ada ulangan esok hari saja. Selain itu tidak ada yang mengigatkan klien untuk belajar karena klien jauh dari orang tua.
C.   Diagnosis
Diagnosis merupakan tahap menginterpretasikan pencarian, penentuan masalah dan mengidentifikasian faktor penyebab imbulnya masalah. Rumusan diagnosis dilakukan melalui proses pengambilan atau penarikan kesimpulan yang logis.
Pada tahap diagnosis ini, dimaksudkan sebagai suatu tahap yang ditempuh untuk mencari, menemukan dan menentukan faktor-faktor penyebab  timbulnya masalah (Hayinah, 1992: 123)
Diagnosis adalah tahap merumuskan masalah yang dihadapi klien beserta sebab-sebab timbulnya masalah. Dalam tahap ini terdiri dari dua langkah.
1.        Identifikasi Masalah
Kegiatan ini dklasifikasikan berdasarkan data yang telah diperoleh. Adapun klasifikasi masalah yang sedang dialami klien adalah:
a.       Masalah pribadi dan sosial
Klien merasa sangat bersalah dan menyesal dengan keputusan klien untuk memutuskan hubungannya dengan pacarnya. Hal ini mengakibatkan klien merasa dibenci dan dimusuhi oleh teman-teman mantan pacar klien. Klien menginginkan meski hubungan klien dengan mantan pacarnya berakhir akan tetapi hubungan antara keduanya tetap seperti teman dan bukan musuh, demikian pula dengan teman-teman mantan pacar klien.

b.      Masalah belajar
Klien merasa terbebani dengan tugas-tugas yang diberikan sekolah. Berdasarkan keterangan klien, klien kurang memperhatikan pelajaran jika guru tidak jelas menerangkan. Selain itu juga klien tidak memiliki jadwal belajar yang teratur. Jika ada tugas sekolah klien lebih sering mengerjakan di sekolah dan mencontoh pekerjaan temannya. Klien banyak mengikuti remidi ulangan tengah semester. Hal ini sangat disesalkan oleh klien karena klien menginginkan dia tidak merasa terbebani dengan tugas sekolah, dan klien tidak banyak mengikuti remidi sehingga prestasi klien membanggakan.
Klien memiliki banyak teman baik dari satu  sekolah maupun dari luar sekolah. Kebanyakan klien mmiliki teman laki-laki. Selain itu klien memiliki teman dekat yang biasa klien ajak untuk membicarakan masalahnya.
c.       Masalah keluarga.
Orang tua klien sudah bercerai, kedua orang tua klien sudah menikah kembali. Klien tinggal dengan ibunya. Klien dekat dengan ibunya, sesekali klien curhat kepada ibunya. Hubungan klien dengan ayah kandung klien kurang dekat. Hubungan klien dengan ayah tiri klien juga kurang dekat, melainkan hubungan klien dengan ibu tiri klien cukup dekat.
Klien merasa ibunya plin-plan dalam mengambil keputusan untuk klien, hal ini dibuktikan pada saat ibu klien melarang klien untuk menbina hubungan yang spesial dengan teman laki-lakinya dan menyuruh klien untuk memutuskan hubungan klien dengan pacar klien, keesokan harinya ibu klien memberitahukan pada klien bahwa klien boleh membina hubungan yang lebih dari sekedar hubungan teman dengan teman laki-laki klien asalkan hal itu tidak mengganggu konsentrasi klien pada pelajaran, hal ini sangat disayangkan oleh klien karena klien sudah terlanjur untuk memutuskan hubungannya dengan pacarnya.
2.      Menentukan sumber penyebab masalah (etiologi)
Pada tahap ini merupakan tahap mencari faktor-faktor penyebab masalah yang dihadapi klien. faktor tersebut berasal dari dalam diri klien (intern) maupun dari luar diri klien (ekstern)
a.       Faktor intern
Faktor penyebab masalah yang dihadapi klien antara lain:
1)  Klien bingung dengan banyaknya tugas yang diberikan sekolah.
2)  Klien belum dapat mengatur waktu.
3)  Klien kurang dapat berkonsentrasi terhadap pelajaran.
4)  Klien belum dapat membagi waktu antara waktu belajar dan waktu bermain.
5)  Klien terlalu tergesa-gesa untuk mengakhiri hubungannnya dengan pacarnya.
6)  Klien merasa bersalah karena memutuskan pacarnya.
7)  Klien terlalu menganggap enteng pelajaran sekolah.
b.      Faktor ekstern
Faktor dari luar diri klien yang menjadi penyebab timbulnya masalah anatara lain:
1)  Klien jauh dari orang tua sehingga tidak ada yang mengawasi dan mengingatkan waktu belajar klien.
2)  Klien memiliki banyak teman yang sering mengajak klien untuk keluar/jalan-jalan.
3)  Ibu klien membuat keputusan yang membingungkan klien.
4)  Sikap teman-teman mantan pacar klien yang membuat klien tidak nyaman untuk masuk sekolah.
D.  Prognosis
Prognosis bertujuan untuk memprediksikan kemungkinan yang dihadapi klien apabila masalahnya tidak teratasi. Atas dasar inilah akan ditetapkan alaternatif-alternatif bantuan atau pertolongan.
1.        Apabila klien tidak segera dibantu, maka :
a.       Klien tidak berkonsentrasi pada palajarannya sehingga lama kelamaan prestasi klien akan semakin menurun.
b.      Klien akan memilih untuk membolos karena klien merasa tidak nyaman berada di sekolah.
c.       Klien akan bermasalah dengan ibunya karena ibu klien akan kecewa jika mengetahui nilai klien tidak ada peningkatan.
d.      Klien akan selalu dihantui perasaan bersalah karena telah memutuskan hubugannya dengan pacarnya.
e.       Tugas-tugas sekolah klien tidak dapat terselesaikan dengan baik dan tidak tepat waktu.
f.        Klien membenci ibunya.

2.        Apabila masalah klien terselesaikan, maka :
a.       Klien dapat berkonsentrasi pada pelajarannya.
b.      Prestasi klien akan meningkat.
c.       Klien akan nyaman dan bersamangat untuk masuk sekolah.
d.      Hubungan klien dengan ibu klien akan semakin dekat.
e.       Tugas-tugas sekolah klien akan terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
f.        Ibu klien bangga dengan klien karena prestasi klien memuaskan dan klien diperbolehkan untuk membina hubungan yang spesial dengan teman laki-lakinya.












BAB IV
USAHA-USAHA BANTUAN

Berdasarkan data tentang klien yang telah terkumpulkan dan dianalisis maka langkah brikutnya adalah memberikan treatment atau usaha bantuan kepada klien. Adapun bantuan tersebut meliputi:
A.   Bantuan yang direncanakan
Bantuan yang direncanakan berisi kegiatan-kegiatan bantuan yang akan dilaksanakan dengan penjelasan mengenai apa dan mengapa bantuan tersebut direncanakan.
Adapun bantuan yang direncanakan dalam usaha membantu memecahkan masalah klien adalah:
1.        Konseling Individual.
Konseling adalah layanan bimbingan yang ditujukan kepada siswa secara face to face dengan wawancara. Layanan ini diberikan kepada siswa yang sudah bermasalah, dan umumnya diberikan secara individual (Widada, 1991: 30) Konseling dalam studi kasus ini dipilih sebagai usaha bantuan karena konseling melibatkan klien yang sedang mengalami masalah. Oleh karena itu praktikan berusaha untuk membantu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi oleh klien. bantuan ini diberikan kepada klien bertujuan agar klien dapat memahami dirinya, menerima dirinya, merencanakan alternatif-alternatif tindakan untuk memecahkan masalah klien. tujuan pemberian bantuan ini agar klien :
a.       Memahami dan menyadari akibat yang timbul bila klien tidak dapat mengatur waktu belajarnya.
b.      Menyadari bahwa keputusan yang diambil ibunya untuk melarang klien berpacaran itu adalah demi kebaikan klien.
c.       Menyadari jika klien terus menerus merasa bersalah kepada mantannya akan berakibat tidak baik bagi kehudupannya dan juga bagi prestasi belajarnya.
d.      Bersama-sama konselor merumuskan jadwal sehari-hari terutama jadwal belajar.
e.       Merumuskan cara bagaimana hubungan klien dengan mantan pacarnya tetap baik meski sudah tidak berpacaran lagi.
2.        Konseling Kelompok.
Konseling kelompok adalah suatu proses antar pribadi yang dinamis yang memusatkan diri pada pikiran dan prilaku yang sadar dan melibatkan fungsi-fungsi terapi seperti sikap persimisif, orientasi pada kenyataan, katarsis, saling pengertian, saling menerima dan membantu (Romlah, 2001:5).
Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan untuk membantu klien untuk mememcahkan permasalahan yang juga dialami oleh teman klien. permasalahan yang akan dijadikan bahan utuk bimbingan kelompok adalah bagaimana meraih prestasi yang memuaskan. Konseling kelompok ini dilakukan konselor beserta klien dan juga bersama dengan teman-teman klien yang dekat dengan klien karena mereka memiliki permasalahan yang hampir sama.
3.        Menberikan Informasi Cara Belajar yang Efektif.
Layanan informasi merupakan layanan yang memungkinkan siswa menerima dan memahami berbagai informasi seperti informasi belajar, pergaulan, jabatan, pendidikan lanjutan (Kurikulum 2002). Tujuan dari informasi ini adalah agar klien dapat memahami bagaimana cara belajar yang efektif, adapun pemberian informasi ini direncanakan akan diberikan kepada klien secara individual.
4.        Melakukan Home Visit.
Home visit atau kunjungan rumah dilakukan untuk mengadakan hubungan baik antara orang tua dan pihak sekolah. Dalam hal ini orang tua klien diajak untuk mendiskusikan tentang masalah yang dihadapi klien dan diajak untuk bersama-sama mencari alternatif-alternatif pemecahan dari masalah klien.
B.   Bantuan yang dilaksanakan
1.        Konseling Individual.
Dalam melaksanakan konseling, praktikan melakukan tiga kali pertemuan. Pertemuan tersebut dilakukan untuk mengetahui tentang sumber-sumber masalah yang ada pada diri klien dan membantu klien dalam mencari alternatif-alternatif pemecahannya.
Dalam pemberian layanan ini praktikan menggunakan pendekatan konseling Trait and Factor dengan tujuan mencari permasalahan yang menjadi sumber penyebab masalah klien dan mencari alternatif pemecahan masalahnya.
Pelakasanana layanan konseling pada pertemuan pertama dilakukan pada hari Sabtu, tanggal 16 September 2006, proses pelaksanaan konseling individual ini berlangsung kurang lebih selama 30 menit. Pada pertemuan pertama tersebut konselor mengumpulkan data klien, pada pertemuan kedua dilaksanakan pada hari Kamis 12 Oktober 2006 dan proses konseling individual ini berlangsung selama 30 menit, pada pertemuan kedua ini praktikan melakukan perumusan alternatif dengan klien sehubungan dengan masalah klien. Pertemuan ketiga yang dilaksanakan pada Senin 13 November 2006 dengan agenda pengujian alternatif yang pada pertemuan kedua telah dirumuskan oleh klien, konselor menanyakan hasil yang telah diperoleh klien. setelah melakukan berapa proses konseling talah diperoleh perubahan pada diri klien, klien sudah tidak lagi mengeluh bahwa klien tidak enak dengan keputusannya untuk memutuskan pacarnya, klien juga sudah memiliki jadwal belajar yang sudah klien jalani, klien sudah tidak lagi merasa malas untuk masuk sekolah.
Dalam melaksanakan praktik layanan koneling individual ini, pendekatan yang dipilih untuk digunakan dalam membantu mengatasi masalah klien adalah pedekatan konseling trait and faktor.
Dari proses konseling pertama diperoleh data-data seputar diri klien. dari proses konseling kedua diperoleh beberapa alternatif pemecahan masalah klien antara lain:
a.       Klien mengatur waktu terutama waktu belajar dan waktu bermain.
b.      Klien tidak hanya belajar saat esok ada ujian saja akan tetapi setiap hari sehingga jika ada ujian klien masih mengingat apa yang telah klin pelajari sebelumnya.
c.       Klien akan bertanya kepada teman atau guru jika klien tidak memahami pelajaran.
d.      Klien sementara tidak akan berpacaran terlebih dahulu.
e.       Klien akan mengurangi aktifitas klien yang dianggap klien kurang menguntungkan.
f.        Klien berbicara pada ibunya bahwa apa yang diputuskan ibunya sangat mengganggu klien saat ini.
g.       Klien mengikuti les diluar sekolah untuk memperbaiki nilainya yang kurang memuaskan.
Dari proses konseling ketiga diperoleh keputusan atau hasil, antara lain sebagai berikut:
a.       Klien dapat mengatur waktu terutama waktu belajar dan waktu bermain.
b.      Klien tidak hanya belajar saat esok ada ujian saja akan tetapi setiap hari sehingga jika ada ujian klien masih mengingat apa yang telah klin pelajari sebelumnya.
c.       Klien akan bertanya kepada teman atau guru jika klien tidak memahami pelajaran.
d.      Klien sementara tidak akan berpacaran terlebih dahulu.
e.       Klien akan mengurangi aktifitas klien yang dianggap klien kurang menguntungkan.
2.      Konseling Kelompok.
Konseling kelompok dilakukan praktikan bersama klien dan teman-teman klien yang memiliki masalah yang hampir sama. Masalah yang diangkat pada konseling kelompok ini adalah masalah belajar. Pada konseling kelompok yang dilakukan oleh praktikan bertempat di luar ruang bimbingan konseling tepatnya di taman depan lapangan. Dalam konseling kelompok tersebut tidak banyak yang ikut serta, hanya prktikan, klien dan dua teman klien yang lain. Bimbingan kelompok ini dilakukan praktikan pada hari Senin 6 November 2006.
Dalam konseling kelompok yang dilaksanakan praktikan beserta klien dan dua teman klien praktikan membahas tentang masalah bagaimana cara belajar yang disesuaikan dengan kondisi SMA Negeri 3 Malang, dimana banyak sekali tugas dan tuntuan nilai yang ditentukan oleh sekolah untuk diraih oleh siswa.
Dalam pelaksanaan teknik ini praktikan membuka terlebih dahulu permasalahan yang sedang dihadapi oleh klien, dan kemudian praktikan memberikan kesempatan pada teman-teman klien untuk memberikan masukan kepada klien dan kemudian praktikan memberikan kesempatan pada klien untuk menambahi masukan yang belum diberikan oleh temannya.
Setelah masukan-masukan baik dari klien maupun dari teman-teman klien, praktikan bersama-sama klien dan teman-temannya merumuskan alternatif pemecahan masalah yang akan dipilih untuk menyelesaikan masalahnya.
Adapun hasil yang diperoleh dari konseling kelompok ini antara lain adalah klien merasa masalah yang dihadapinya. Selain itu klien menjadi lebih terbuka pada praktikan dan juga pada teman-temannya tentang permasalahan yang ia hadapi khususnya masalah belajar klien. Klien dan juga kedua temannya merumuskan jadwal belajar bersama.
3.      Menberikan Informasi Cara Belajar yang Efektif.
Layanan informasi yang diberikan pratikan berkaitan dengan permasalahan yang dialami oleh klien yaitu pada bimbingan belajar. Pemberian informasi diberikan karena klien belum mengetahui tentang bagaimana belajar yang efektif. Kegiatan ini dilakukan oleh praktikan saat klien datang pada praktikan untuk berkonseling, tepatnya pada hari Kamis 20 Oktober 2006. untuk pelaksanaan layanan informasi, praktikan memberikan layanan informasi secara individual. Adapun tujuan dari pemberian informasi ini melihat dari permasalahan klien yang mengalami permasalahan dalam belajar. Informasi ini berisi tentang bagaimana seorang dapat belajar secara efektif dengan pemahaman terhadap bahan yang dipelajari.
C.     Bantuan yang tidak dilaksanakan
Bantuan yang tidak terlaksana pada kegiatan ini adalah home visit. Hal ini dikarenakan proses konseling yang dilakukan praktikan dengan klien dirasa sudah cukup untuk memecahkan masalah klien. praktikan juga pernah menawarkan bantuan ini kepada klien dan klien menganggap tidak perlu untuk dilakukan home visit.
D.    Tindak lanjut (Follow Up)
Usaha tindak lanjut merupakan kegiatan lanjutan dari usaha yang telah dilaksanakan. Kegiatan ini untuk mengetahui sampai sejauh mana tingkat keberhasilan bantuan yang telah diberikan kepada klien dan akan merencanakan bentuk bantuan yang lain apabila bantuan yang sebelumnya tidak sesuai. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan usaha bantuan yang telah diberikan, maka praktikan mengikuti perkembangan klien dengan melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
1.      Melakukan Observasi.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk melihat apakah klien sudah menerapkan informasi yang didapatnya.  Dari hasil pengamatan praktikan baik dari dalam kelas maupun di luar kelas, klien sudah menunjukkan sikap tidak lagi mala untuk masuk sekolah, selain itu juga klien sudah tidak lagi banyak menghbiskan waktu istirahatnya di kelas.
2.      Wawancara dengan klien.
Praktikan mengadakan wawancara dengan klien mengenai perkembangan masalah yang dihadapi. Adapun masalah yang dihadapi klien adalah klien malas untuk masuk sekolah karena klien merasa tidak nyaman jika bertemu dengan mantan pacar klien dan teman-temannya selain itu juga klien masalah klien adalah maalah belajar yakni klien kurang dapat berkonsentrasi dalam belajar.
Dari hasil wawancara dengan klien, klien sudah tidak lagi malas sekolah dan sudah tidak lagi merasa tidak nyaman jika bertemu dengan mantan pacarnya beserta teman-temannya. Selain itu juga klien sudah dapat berkonentrasi pada pelajaran dan klien memilih untuk tidak membina hubungan yang istimewah dengan lawan jenis terlebih dahulu karena klien ingin berkonsentrasi pada pelajaran.
3.      Kerjasama dengan konselor.
Kerjasama ini dilakukan untuk menindak lanjuti maslah yang dihadapi oleh klien, karena konselor adalah orang yang mengetahui latar belakang siswa yang bersangkutan. Praktikan dalam hal ini melaporkan pada konselor untuk ditindaklnjuti apabila masa praktek praktikan sudah berakhir dan klien masih memerlukan bantuan. Dalam kegiatan ini, konselor hanya ingin mengetahui identitas klien.





BAB V
ANALISIS DAN BAHASAN

          Dalam bab ini akan dibahas mengenai analisis dan bahasan. Analisis maksudnya memaparkan uraian tentang keefektifan penyelidikan dan ketercapaian tujuan melalui bantuan yang diberikan dan kesenjangan antara tuntutan teori dan praktik atau hambatan-hambatan yang ditemui dilapangan, sedangkan bahasan menjelaskan dari sudut teori tentang hasil analisis, baik yang tercapai maupun yang tidak tercapai.
A.     Analisis
Studi kasus merupakan teknik atau metode pengumpulan data yang bersifat menyeluruh dan terpadu. Menyeluruh berarti yang dikumpulkan meliputi seluruh aspek pribadi individu. Terpadu artinya menggunakan berbagai pendekatan dalam mengumpulkan data. Dengan demikian akan diperoleh pemahaman individu yang dimaksud. kasus yang ditangani ini adalah individu yang mempunyai masalah yang komplek dan serius, sehingga membutuhkan bantuan yang secepatnya.
Adanya tujuan dari studi kasus ini antara lain :
a)      Untuk mengenal keadaan individu yang bermasalah
b)      Untuk mengadakan intepretasi dan diagnosa tentang tingkah laku individu sesuai dengan masalahnya.
c)      Memberikan bantuan untuk menentukan jalan keluar dari masalah yang dihadapi individu.
Berdasarkan kegiatan tersebut, praktikan mengumpulkan dan mempelajari data mengeni klien secara lengkap dan rahasia, dikerjakan secara terus menerus, baik data pribadi maupun data sosial. Tidak hanya itu praktikan juga mencari informasi tambahan mengenai klien kepada teman-teman dekat klien. dengan adanya informasi dari beberapa teman klien, praktikan dapat memahami kondisi dan permasalahan-permasalahan yang dialami oleh klien.
Masalah yang dihadapi klien sangat kompleks yaitu yang paling utama adalah masalah belajar, klien tidak dapat membagi waktunya terutama waktu untuk belajar, karena hal tersebut klien mendapat nilai yang tidak memuaskan pada Ulangan tengah Semester. Permasalahan yang dialami oleh klien tersebut bila dibiarkan terus-menerus maka akan memberi hambatan paada masa depan klien itu sendiri.
1.      Tahap Sintesis
Praktikan merangkum masalah klien agar diperoleh gambaran yang jelas mengenai masalah klien yang sedang dihadapi oleh klien. pada tahap ini praktikan mengalami sedikit hambatan untuk merangkum masalah yang dihadapi klien. hal ini dikarenakan masalah klien yang kompleks sehingga praktikan sedikit kesulitan untuk merangkum secara keseluruan mengenai data klien yang telah terkumpul.
Dalam menemukan dan menentukan faktor penyebab timbulnya masalah, praktikan tidak lagi mengalami masalah dan tahap ini berjalan lancar. Hal ini disebabkan karena praktikan sudah mengetahui masalah yang dihadapi klien yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga masalah, antara lain: masalah belajar, keluarga, dan hubungan lawan jenis dan sosial. Dari ketiga masalah yang dihadapi klien tersebut masalah yang utama yang dihadapi klien dan perlu ditangani lebih lanjut adalah masalah belajar.
Faktor pendukung pada tahap ini adalah praktikan banyak mendapatkan informasi mengenai diri klien dari teman dekat klien, menurut informasi yang diberikan oleh teman dekat klien, klien memiliki cara belajar yang belum sesuai, klien tidak memiliki jadwal belajar untuk sehari-hari. Klien juga sangat terbuka pada praktikan untuk mengungkapkan masalahnya.
Dalam memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi apabila masalah-masalah klien tidak segera teratasi praktikan tidak memiliki hambatan, hal ini dikarenakan praktikan sudah mmiliki gambaran yang jelas tentang permasalahan klien. Klien juga memiliki pemahaman yang jelas tentang masalahnya dan kemungkinan-kmungkinan yang akan terjadi jika klien tidak segera menyelesaikan masalahnya.
Dalam membantu klien untuk mememukan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang sedang dihadapi klien praktikan menentukan bantuan yang akan diberikan pada klien. di dalam langkah-langkah yang ada pada ancangan trait and factor yang digunakan oleh praktikan dalam studi kasus ini yaitu: analisis, sintesis, diagnosis, dan prognosis cenderung lancar dalam proses pelaksanaannya. Sedangkan pemberian treatment oleh praktikan berpedoman terhadap masalah yang sedang dihadapi klien.
Dalam pemberian bantuan, praktikan telah merencanakan bantuan-bantuan yang sesuai dengan masalah klien dan saling mendukung tetapi tidak semua bantuan yang direncanakan dapat dilaksanakan. Bantuan yang direncanakan antara lain: konseling individual, konseling kelompok, pemberian informasi, dan home visit. Dari bantuan-bantuan yang direncanakan ada satu bantuan yang tidak terlaksana yakni home visit.
Keberhasilan studi kasus ini ditunjang oleh adanya keterbukaan klien dalam memberikan informasi dan kepercayaan klien terhadap praktikan dalam membantu mancari alternatif-alternatif pemecahan masalah. Selain itu ada keinginan klien untuk segera menyelesaikan masalah yang sedang ia hadapi.
Dalam studi kasus ini praktikan mengalami hambatan-hambatan antara lain adalah sulit menentukan waktu yang tepat untuk bertemu klien mengingat jadwal sekolah yang begitu padat, selain itu juga pertimbangan agar waktu pertemuan dengak klien tidak mengganggu aktifitas klien yang lainnya. Hambatan yang lain adalah kurangnya kerjasama antara praktikan dan wali kelas dan juga guru mata pelajaran. Karena hal ini praktikan kurang menggali data mengenai diri klien pada wali kelas dan juga guru-uru mata pelajaran.
B.     Bahasan
Bahasan menjelaskan dari sudut teori tentang hasil analisis, baik dari yang tercapai maupun yang tidak tercapai. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa studi kasus ini telah dilaksanakan dengan prosedur yang sudah ada, meski mengalami sedikit hambatan. Menurut Hayinah (1992), pelaksanaan studi kasus bisa berjalan baik bila prosedur dan teknik yang digunakan tepat dan dilaksanakan sesuai dengan urutan.
Studi kasus ini disusun dengan ancangan Trait and Factor kerena ancangan ini mengutamakan kerasionalan berpikir klien menjadikan individu yang mandiri. Tujuan utama dalam ancangan ini adalah membantu individu untuk memahami dirinya secara rasional. Hal ini berarti tujuan ancangan trait and factor adalah membantu klien memecahkan masalah dengan melihat secara objektif terjadinya kesulitan yang berasal dari diri klien sendiri. Prosedur yang digunakan pada studi kasus ini sudah tepat, langkah-langkah yang ditempuh sudah sesuai dengan urutannya. Dari segi pelaksanaannya, studi kasus ini sudah cukup baik. Namun hasil yang diperoleh kurang dari sempurna, hal ini dikarenakan kemampuan praktikan kurang.
Analisis merupakan langkah mengumpulkan data atau informasi mengenai diri klien serta latar belakangnya. Tahap ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman diri klien dan harus memenuhi syarat yaitu: valid, relevan dan komprehensif. Tahap ini membutuhkan waktu yang cukup lama karena praktikan harus menggali dan mengumpulkan data mengenai klien baik itu dalam bentuk testing maupun non testing. Setiap hasil pengumpulan data mengenai klien dapat diatur oleh praktikan secara sistematis sesuai dengan urutan yang telah disusun oleh praktikan. Urutan ataupun langkah-langkah awal sampai akhir dalam pengumpulan data untuk memahami dan mengenali klien itu digolongkan menjadi dua, yaitu; teknis tes dan teknik non testing.
Pemahaman individu melalui teknik tes adalah laporan hasil ujian tengah semester 2006/2007. sedangkan pemahaman individu melalui teknik non testing berupa observasi, wawancara, daftar cek masalah, studi habit, sosiometri, dan tes Who Am I. Disamping alat analisis di ata, patterson (dalam Ramli, 1996:10) mengemukakan semua data klien yang terdiri dari catatan komprehensif yang mencakup sejarah kehidupan keluarga, sejarah kesehatan, sejarah pendidikan, sejarah pekerjaan dan jabatan, minat sosial dan rekreasi, serta kebiasaan-kebiasaan klien.
Pengalaman praktikan selama menangani kasus ini adalah dalam mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalahnya perlu ada kepercayaan dan keterbukaan klien dalam mengungkapkannya karena jika tidak maka proses pemberian bantuan akan ulit untuk dilakukan. Selain itu praktikan juga memperoleh seperangkat pengetahuan dan pengalaman yang nantinya akan dijadikan bekal untuk menjadi seorang konselor yang profesional.
Sentesis adalah usaha merangkum, menggolongkan dan menghubungkan data yang terkumpul pada tahap analisis kemudian disusun sehingga jelas gambaran keseluruhan tentang diri klien. pada tahap ini, klien memiliki msalah utama yaitu masalah belajar. Seperti yang diketahui bahwa masalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan manusia, secara sederhana dapat disadari dan dirasakan oleh setiap individu bahwa dirinya tidak dapat menghindar dari masalah (Trisna, 2003). Dengan mengetahui permasalahan klien yang telah dirangkum akan dapat mempermudah praktikan untuk mengorganisasikan data dari hasil tahap analisis sedemikian rupa sehingga menunjukkan gambaran diri klien yang terdiri dari kelemahan dan kelebihannya serta kemampuannya.
Diagnosis merupakan tahap menginterpretasikan pencarian, penentuan masalah dan mengidentifikasikan faktor penyebab timbulnya masalah. Seperti diketahui bahwa dalam tahap diagnosis ini terdiri dari dua langkah antara lain: identifikasi masalah dan penemuan sebab-sebab masalah. Berdasarkan identifikasi masalah, klien memiliki masalah belajar. Berkaitan dengan permasalahan diatas, Ramli (1996:12) mengemukakan bahwa kurang menguasai ketrampilan yang diperlukan (lack of skill) merupakan masalah yang banyak dialami oleh klien. seperti diketahui bahwa klien memiliki faktor penyebab intern dan ekstern yang sangat komplek seperti yang tertulis di Bab III di atas. Menurut Ramli, (1996:13) dari sekian banyak faktor yang diperkirakan menjadi penyebab masalah klien, hendaknya dicari mana yang utama dan mana yang bukan agar pemberian bantuan pemecahannya lebih tepat. Jika tidak ada atau sedikit hasil penelitian yang menghubungkan masalah dengan penyebabnya, konselor dapat menggunakan intuisinya yang kemudian dicek oleh logika dan reaksi klien.
Prognosis adalah langkah untuk membuat prediksi tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada diri klien berdasarkan keadaan klien saat ini. Didalam studi kasus ini, klien kurang berkonsentrasi dalam belajar maka kemungkinan ia akan memperoleh nilai-nilai rendah atau dibawah rata-rata. Oleh karena itu, praktikan berusaha, membantu klien untuk menyadari kemungkinan-kemungkinan yang dialami bilamana keadaan ini terus dibiarkan dan tidak segera diatasi.
Teratmen adalah usaha pemberian bantuan yang diberikan pada klien untuk memecahkan masalahnya. Adanya rencana yang tidak terlaksana pada studi kasus ini memungkinkan sebagai salah satu faktor ketidak berhasilan studi ksus ini. Dari usaha bantuan yang direncanakan ada tiga bantuan yang terlaksana dan satu bantuan yang tidak terlaksana oleh praktikan. Jika usaha ini dapat dilaksanakan maka keberhasilan studi kasus ini akan lebih baik, selain itu adanya proses perencanaan pemberian bantuan oleh praktikan tidak semuanya dapat dilaksanakan, hal ini disebabkan karena keterbatasan kmampuan yang dimiliki praktikan. Hasil pemberian bantuan yang praktikan berikan kepada klien cukup optimal, terutama mengubah tingkah laku klien tebih terencana. Namun hasil yang talah dicapai masih memerlukan tindak lanjut baik dari orang tua, teman dan guru serta konselor. Menurut Ramli (1996:15), bilamana semua upaya telah dilaksanakan untuk membantu klien memecahkan masalah yang dihadapinya masih belum berhasil maka cara terakhir yang dapat ditempuh adalah membantu klien agar dapat menyesuaikan dirinya dengan keadaan yang sangat tidak dikehendaki, dengan keyakinan bahwa dibalik kenyataan tersebut ada hikmahnya. Dengan cara demikian diharapkan penderitaan klien sedikit demi sedikit dapat berkurang.
Untuk menjalin hubungan yang lebih akrab antara praktikan dengan klien dan mempertajam pemahaman diri klien, maka salah satu bantuan yang telah dilaksanakan dan diberikan oleh praktikan adalah konseling individual. Konseling sendiri merupakan uapaya bantuan kepada klien secara “face to face” dengan teknik wawancara agar terjadi perubahan prilaku pada diri klien (Rosjidan, 1994:5). Faktor-faktor yang dapat memperlancar selama proses konseling diantaranya klien merupakan siswa binaan praktikan, klien adalah anak yang sangat terbuka pada praktikan, sehingga omunikasi yang terjali antara klien dan praktikan tidak terkesan kaku.
Follow up adalah tahap untuk memantau dan mengetahui tingkat keberhasilan ari bantuan yang telah diberikan pada klien serta langkah selanjutnya yang akan diambil etelah pemberian bantuan. Menurut Ramli (1996:16), jika tidak berhasil memberikan bantuan kepada klien maka keberhasilan tersebut perlu diidentifikasi pnyebab ketidak berhasilannya den kemudian ditentukan bantuan yang lebih tepat sehingga klien dapat berkembang secara optimal baik dari segi kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa praktikan memiliki kesulitan dalam mencari waktu luang untuk melakukan kegiatan follow up ini. Hal ini disebabkan karena waktu praktik praktikan terbatas.dari pelaksanaan bantuan ini, banyak pengalaman yang dapat diambil sebagai pelajaran bagi praktikan antara lain, praktikan dapat mengevaluasi kemampuan praktikan dalam menyerap ilmu dan menerapkannya dalam kehidupan nyata. Sedangkan hambatan yang dihadapi akan praktikan jadikan sebangai pelajaran untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan keahlian praktikan.


















BAB VI
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dari hasil dan bahasan yang telah diuraikan diawal dapat ditarik beberapa kesimpulan yang nantinya dapat memperkaya untuk pelaksanaan kegiatan studi kasus selanjutnya. Kesimpulan yang dapat diambil dari laporan studi kasus ini adalah:
1.      Studi kasus merupakan salah satu bentuk kegiatan pendukung dalam bimbingan konseling yang harus dikuasai oleh praktikan untuk menyelesaikan masalah siswa. Dalam studi kasus diharapkan praktikan mampu menyelesaikan masalah yang kompleks yang tidak selesai hanya dengan konseling saja. Ancangan yang praktikan gunakan adalah ancangan klinis model trait and factor. Pendekatan ini digunakan karena sesuai dengan kondisi klien dengan latar belakang masalahnya. Studi kasus yang praktikan laksanakan melalui beberapa tahap yaitu analisis data, sintesis, diagnosis, (identifikasi masalah dan etiologi), prognosis, treatment (pemberian bantuan) dan follow up (usaha tindak lanjut).
2.      Dalam laporan studi kasus ini, maalah yang dihadapi klien adalah masalah belajar. Klien banyak mengikuti remidi dan hal ini diketahui oleh ibu klien dan membuta ibu klien kecewa serta menganggap hal ini dikarenakan klien sibuk berpacaran, ibu klien menyuruh klien untuk memutuskan hubungannya denga pacarnya, dan hal ini dilakukan oleh klien karena klien tidak ingin ibunya kecewa lagi yang nantinya akan berdampak tidak baik untuk klien. setelah klien memutuskan hubungnnya dengan pacarnya klien mersa bersalah pada pacarnya dan merasa bahwa pacarnya beserta teman-temannya memungsui klien, hal ini membuat klien menjadi malas untuk berangkat kesekolah, dan mengganggu konsentrasi klien dalam belajar di sekolah.
3.      Dalam pelaksanaan seluruh kegiatan studi kasus ini, kegiatan usaha pemberian bantuan yang telah terlaksana adalah berupa bantuan konseling individual, konseling kelompok, dan pemberian layanan informasi tentang bagaimana belajar yang efektif. Sesang pemberian bantuan yang tidak terlaksana adalah home visit.
4.      Dalam pelaksanaan selama kegiatan studi kasus ini, praktikan merasa ada beberapa hambatan yang dialami selama pelaksanaan studi kasus ini, antara lain: praktikan sulit mnentukan waktu untuk konseling mengingat kegiatan sekolah siswa begitu padat dan praktikan khawatir waktu konseling mengganggu waktu belajar klien. selain itu juga kerja sama dengan konselr, wali kelas, dan guru mata pelajaran dirasa praktikan kurang terjalin.
5.      Hasil yang dapat dicapai dari usaha pemberian bantuan ini yaitu klien mulai menampakkan perubaghan prilaku walaupun hal ini dilakukan klien secara bertahap, perubahan positif ini sudah mulai mnunjukkan keberhasilan praktikan dalam membantu klien menyekesaikan masalahnya.

 
B.     Saran
Sebagai akhir laporan studi kasus ini, praktikan menyampaikan beberapa saran antara lain:
1.      Bagi praktikan.
a.       Diharapkan dapat menjalin hubungan dengan guru bidang studi, wali kelas, agar lebih dapat meningkatkan kerjasama untuk memperhatikan, memahami masalah-masalah yang sedang dihadapi siswa.
b.      Penerimaan, empati, dan hubngan baik dengan klin sangat dibutuhkan dalam proses konseling.
c.       Praktikan hendaknya bersikap netral dalam menanggapi masalah yang diceritakan oleh klien.
2.      Bagi pengembangan ilmu.
Laporan studi kasus hendaklah bisa menjadi sarana bagi seluruh pihak khususnya yang berada dalam ruang lingkup bimbingan dan konseling untuk belajar mmahami setiap individu dan lingkungannya, terutama individu yang bermasalah dan membutuhkan bantuan, sehingga ilmu yang diperoleh menjadi lebih berkembang dan memperkaya pengetahuan akan keberadaan bimbingan dan konseling.



















DAFTAR RUJUKAN

Rosjidan. 1994. Modul Pendekatan Modern Dalam Konseling. Malang: PBB FIP           IKIP Malang
Fauzan, Lutfi dan Bisri, Moh. 1994. Modul 4: Konseling Trait And Factor. Malang: IKIP Malang.
Ramli, M. 1996. Konseling Trait And Factor. Malang: FIP Universitas Negeri  Malang.
Universitas Negeri Malang. 2006. Petunjuk Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan Bidang Studi Bimbingan Dan Koneling. Malang: UPT Program Pengalaman Lapangan.
Hidayah, Nur. 1998. Pemahaman Individu: Teknik Non Tes. Malang: FIP Universitas Negeri Malang.
Hayinah. 1992. Masalah Belajar dan Bimbingan. Malang: IKIP Malang
Surya, Moh.& Natawidjaja, Rochman.1986. Pengaturan Bimbingan Dan Penyuluhan. Jakarta: Depdikbud, Universitas Terbuka.
Widada dan Hayinah.1991. Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Malang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang.
Romlah, Tatiek. 2001. Teori Dan Praktek Bimbingan Kelompok. Malang: Universitas Negeri Malang.